BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Suatu sistem sosial yang selalu kita temui dalam ruang lingkup hidup bermasyarakat adalah rumah tangga. Banyak hal yang tidak diketahui dari sistem sosial ini, yang pada dasarnya selalu bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa fakta yang membuktikan bahwa masih banyak diantara kita yang belum tahu masalah bagaimana hakikat hidup berumah tangga.dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Seperti perceraian, perpisahan, perselingkuhan, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),dll.
Dengan melihat realita yang terjadi sekarang ini kita harus sadar bahwa Betapa pentingnya mengetahui tentang rumah tangga walaupun hanya sekedar kulit luarnya saja. Memang benar, saat ini kita masih berstatus mahasiswa lajang yang belum terikat dalam hubungan pernikahan. Namun , tidak dapat dielakkan akan tiba saatnya kelak kita berumah tangga, kita akan mengurus keluarga kecil kita, dan akan menjadi orang tua dari anak-anak kita kelak, serta akan terlepas dari orang tua yang selama ini menjadi penuntun kita.
Dengan melihat uraian diatas Maka ada baiknya kita kaji sedikit pernak-pernik rumah tangga agar bisa dijadikan sebagai bahan pedoman dalam membangun rumah tangga, sehingga suatu saat kita dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka, penulis menarik beberapa rumusan masalah yaitu:
Bagaimana hakikat sebuah rumah tangga dalam beberapa sudut pandang?
Mengapa KDRT dapat terjadi?
Bagaimana KDRT dalam kajian perspektif gender?
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT RUMAH TANGGA
Sebelum membahas lebih jauh tentang hakikat rumah tangga yang sebenarnya, sebaiknya kita perlu mengetahui sedikit sejarah rumah tangga di beberapa zaman dan negara.
a. Sejarah Rumah Tangga
1. Zaman Fir'aun.
Wanita di zaman Fir'aun berbeda masalahnya dengan wanita di zaman kuno yang lain. Di zaman ini mereka mendapat hak yang sama dengan kaum lelaki bahkan kadang kala mereka terima melebihi lelaki. Ini terjadi karena bangsa Mesir kuno menganggap kaum wanita lebih sempurna dari kaum lelaki. Contohnya Ratu Hatsyebsut - memerintah Mesir selama 22 tahun. Di kalangan raja dan pembesar pula, mereka menerapkan poligami tetapi tidak mengamalkan pemberian hak yang sama pada istri-istri. Ini merusakkan hubungan antara lelaki dan wanita.
2. Zaman Yunani.
Bangsa Athena Kuno sangat memandang rendah pada wanita. Wanita separti barang perhiasan yang boleh dijualbeli di pasar. Pada zaman mereka, kaum wanita adalah jelmaan syaitan yang jahat dan kotor. Kaum suami mempunyai hak sepenuhnya keatas isteri.
3. Zaman Romawi.
Zaman ini lebih rusak dari zaman Yunani di mana kaum lelaki menyusun suatu undang-undang mengatakan kaum wanita tidak memiliki jiwa kemanusiaan, oleh karena itu wanita tidak dibangkitkan di hari akhirat. Selain dari itu, kaum wanita dilarang makan daging, ketawa malah kadangkala dilarang berbicara. Pada mulut wanita dipasang kunci "muzelir" agar tidak berbicara. Kekejaman mereka melebihi batas sehingga ada tradisi yang memberi hak kepada suami untuk membunuh isteri. Undang-undang ini diberi nama "Noema" di mana suami boleh membunuh isteri dan menyerahkan isteri kepada orang lain.
4. Negeri China.
Pada zaman dahulu hingga abad ke 15, isteri para kaisar akan turut dikuburkan bersama suami yang mati, malah ramai wanita dipaksa membunuh diri. Tradisi ini juga dipakai oleh bangsa Skandinavia pada abad-abad pertengahan.
5. Negeri India.
Pada pertengahan abad ke 20, janda dilarang menikah. Dalam adat suku kaum Tuda, pengantin perempuan mesti merangkak sampai ke tempat suaminya. Upacara ini berakhir setelah suami meletakkan kakinya di atas kepala mempelai wanita.
6.Farsi.
Menurut agama Majusi, kedudukan wanita sangat hina. Wanita dianggap sebagai pangkal kejahatan dan kemurkaan dewa. Sebelum kedatangan Rasulullah SAW, wanita tiada nilai sama sekali. Pada masa dua abad sebelum Islam, di Perancis, sebahagian masyarakat mempersoalkan, apakah wanita itu hewan atau syaitan? Namun dengan kedatangan Rasulullah SAW, Islam telah Berjaya menyelamatkan kaum wanita dari kezaliman.
b. Hakikat Rumah Tangga
Tempat sosialisasi paling awal bagi individu adalah keluarga. Jadi dapat dikatakan keluarga sebagai sebuah mekanisme sosial agar seseorang individu dapat mengetahui posisi dan kedudukannya sehingga ia akan mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa.
Aspek Agama : Rumah tangga adalah sebuah susunan atau jaringan yang hidup. Yang merupakan pusat dari denyut-denyut pergaulan hidup yang menggetar. Dia adalah alam pergaulan manusia yang sudah diperkecil yang ditunjukkan untuk mengekalkan keturunan. Kemudian daripadanya nanti akan terbentuklah sebuah keluarga, yaitu suatu jama’ah yang bulat, teratur, dan sempurna. Dia bukan sekedar tempat tinggal belaka. Tetapi, rumah tangga sebagai lambang tempat yang aman, yang dapat menentramkan jiwa, sebagai tempat latihan yang cocok untuk menyesuaikan diri, sebagai benteng yang kuat dalam membina keluarga dan merupakan arena yang nyaman bagi orang yang menginginkan hidup bahagia, tentram dan sejahtera.
Aspek Hukum : Keluarga inti ( nuclear family ) yang anggotanya hanya terdiri atas suami, istri, dan anaknya.
Aspek Sosiologi : Keluarga merupakan orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, yang membentuk satu rumah tangga, yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan dan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau menciptakan kebudayaannya sendiri. Ada pengertian lain, rumah tangga adalah jika pasangan baru membentuk rumah tangga baru yang sama sekali terlepas dari rumah tangga kelurga apapun lainnya.
Pengertian keluarga adalah adanya hubungan darah antara orang-orang dalam dalam rumah tangga sedangkan dalam pengertian rumah tangga adalah di dalam rumah tangga yang bersangkutan di samping antara anggota rumah tangga adanya hubungan darah ada juga orang lain di rumah tangga itu karena hubungan ekonomi. Oleh karena demikian rumah tangga mengandung lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan lingkup keluarga.
B. SEULAS TENTANG KDRT
"Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka". (As-Syura :
38).
Ketika kepada anggota keluarga diberi waktu dan kesempatan untuk sama-sama duduk mendiskusikan persoalan intern dan ekstern keluarga, maka itulah pertanda bahwa keluarga tersebut memperhatikan keutuhan keluarga, peran dan saling kerjasamanya.
Bahkan cinta kasih dan sikap kebersamaan itulah yang merupakan landasan kehidupan masyarakat manusia. Hal ini berarti aspek eksistentensial mengatasi aspek fisik. Rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan yang ada di dalam diri setiap manusia inilah yang menciptakan pranata-pranata dalam kehidupan bermasyarakat.
Rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan ini harus di balut dengan komitmen agar fondasi rumah tangga kokoh dan kuat. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat orang takut untuk menghadapinya. Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang istri untuk pergi jauh melihat baik dan buruknya suami. Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang suami ketika mengetahui seorang wanita lain mengajaknya berselingkuh dan ia memilih pulang ke rumah untuk makan malam dengan istri berbagi kisah sambil tertawa.
Definisi KDRT dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga.”
C. Kekerasan Terhadap Perempuan Dari Perspektif Gender.
Dalam bahasa Inggris, kata “gender” yaitu pengelompokkan kata benda atau kata ganti yang menyatakan sifat laki-laki dan perempuan. Kata “gender” diartikan kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin. Namun, di Indonesia kata “gender” termasuk kosa kata dibidang ilmu sosial, maka gender merupakan istilah.
Gender (genus) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun kebudayaan, tergantung pada waktu (tren) dan tempatnya. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita mendefinisikan gender sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan arti pada kepentingan dan pemusatan fungsi-fungsi dan peran antara pria dan wanita.
Gender menurut Baron&Byrne, adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu.
Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set perilaku perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan. Bervariasinya peran gender di antara berbagai budaya serta jangka waktu menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita. Sedangkan yang dimaksud dengan Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria. Sedangkan Feminin nerupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Femininitas dan Maskulinitas ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Stereotip peran gender ini dihasilkan dari pengkategorisasian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi kita.
Teori Gender Expectations
Gender expectations atau pengharapan akan jender membawa kita untuk lebih memilih laki-laki untuk posisi otoritas dan meletakkan wanita pada peran sub-ordinat atau hanya sebagai pelengkap. Di dalam keluarga, kelompok dan organisasi sosial, pria mempunyai status yang lebih tinggi daripada wanita (Betz & Fitzgerald, 1987; England, 1979; Kanter, 1977; Lovdal, 1989; Needleman & Nelson, 1988; Scanzoni, 1982 dalam Beal & Sternberg, 1999).
Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yangsementara diyakini sebagai kodrat Tuhan. Sebagai kodrat Tuhan akibatnya tidak dapat dirubah. Oleh karena gender bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidak adilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi, stereotype.
Bentuk ketidak adilan tersebutmerupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut di atas terjadi karena adanya keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya di bawah laki-laki, bersifat melayani dan tidak sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian maka perempuan disamakan dengan barang (properti) milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan sewenangwenang. Pola hubungan demikian membentuk sistem patriarki. Sistem ini hidup mulai dari tingkat kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan bahkan sampai pada tingkat kelas tinggi. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat juga dikaji berdasarkan Teori Class dari Marx. Marx mengatakan bahwa ada dua kelompok yang berada pada posisi yang berbeda yaitu kelompok kapitalis di satu sisi dan kaum buruh di sisi lainnya. Kaum kapitalis adalah kaum yang menekan kaum buruh, kaum buruh berada pada posisi sub-ordinat dan tidak diuntungkan (Marx, 1987: 90).
Berdasarkan Teori Marx tersebut dapat diasumsikan bahwa kaum laki-laki itu adalah kaum kapitalis yang berada pada posisi lebih tinggi, menentukan dan diuntungkan sedangkan kaum perempuan adalah kaum buruh yang berada pada posisi lebih rendah dan tidak diuntungkan.
Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan oleh Sally E. Merry, “Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”.
Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi luasnya solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri.
Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap perempuan telah dilihat sebagai suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar perempuan serta perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada dirinya.Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya.
Pengertian kekerasan terhadap perempuan di samping seperti telah dikemukakan di atas, juga diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa”membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.
MACAM-MACAM BENTUK KDRT
Dalam kaitan itu penulis condong memakai bentuk-bentuk sesuai dalam UU No. 23 Tahun 2004.
Kristi E Purwandari dan Archie Sudiarti Luhulima mengemukakan
beberapa bentuk kekerasan sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik , seperti : memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
b. Kekerasan psikologis, seperti : berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.
c.Kekerasan seksual, seperti : melakukan tindakan yang mengarahkeajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya.
d. Kekerasan finansial, seperti : mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya.
e. Kekerasan spiritual, seperti : merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktekan ritual dan keyakinan tertentu
(Kristi E. Purwandari, 2002: 11).
Ada pendapat lain dari beberapa aktivis perempuan, bentuk-bentuk kekerasan adalah :
Kekerasan Fisik & Psikis : kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, dan atau luka berat, sementara kekerasan psikis didefinisikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan mengakibatkan rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan seksual : meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Hal ini juga menyangkut perkosaan dalam rumah tangga (marital rape).
Penelantaran rumah tangga : adalah suatu keadaan yang menyebabkan pelarangan untuk bekerja, pemaksaan bekerja atau eksploitasi. Hal ini penting diatur karena faktanya ditemukan banyak kekerasan berdimensi ekonomi dalam rumah tangga, yang antara lain menyebabkan korban tidak boleh bekerja tetapi tidak diberikan nafkah layak, pengambilalihan aset ekonomi milik korban, serta eksploitasi berupa pemaksaan melakukan pekerjaan tertentu.
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Rumah Tangga.
1. Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.
2. Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.
3. Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.
4. Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri.
5. Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran
agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga.
Sementara itu Aina Rumiati Azis mengemukakan faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan terhadap perempuan yaitu :
1. Budaya patriarki yang mendudukan laki—laki sebagai mahluk superior dan perempuan sebagai mahluk interior.
2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.
3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya (Aina Rumiati Aziz, 2002: 2)
Berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan, Sukerti mengemukakan sebagai berikut :
1. Karena suami cemburu.
2. Suami merasa berkuasa.
3. Suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi tanpa ijin.
4. Ikut campurnya pihak ketiga (mertua).
5. Suami memang suka berlaku kasar (faktor keturunan).
6. Karena suami suka berjudi (Sukerti, 2005: 84).
Pelaku KDRT
Sebagian besar pelaku KDRT berjenis kelamin lakilaki. Survei menunjukkan bahwa 20-30% pria pernah melakukan kekerasan fisik paling tidak satu kali dalam setahun terakhir. Lakilaki yang secara rutin melakukan kekerasan secara psikologis dan yang bersifat mengontrol jumlahnya lebih sedikit, kemungkinan 5% dari jumlah pria yang sudah berumah tangga.
Pelaku KDRT dapat dibedakan menjadi tiga tipe:
cyclically emotional volatile perpetrators. Pelaku KDRT jenis ini mempunyai ketergantungan terhadap keberadaan pasangannya. Pada dirinya telah berkembang suatu pola peningkatan emosi yang diikuti dengan aksi agresif terhadap pasangan .Bila pelaku memulai dengan kekerasan psikologis, kekerasan tersebut dapat berlanjut pada kekerasan fisik yang berat.
Overcontrolled perpetrators. Pelaku jenis ini yaitu kelompok yang pada dirinya telah terbentuk pola kontrol yang lebih mengarah kepada kontrol psikologis daripada kekerasan fisik.
psychopathic perpetrators. Pelaku yang pada dirinya tidak terbentuk hubungan emosi atau rasa penyesalan, dan cenderung terlibat juga dalam kekerasan antar pria ataupun perilaku criminal lainnya.
Teori gender yang berpengaruh dalam perbincangan persoalan gender :
1. Teori Psikoanalisa atau identifikasi (Sigmund Freud).
Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas.
2. Teori Strukturalis-Fungsionalism (Hilary M. Lip, Linda Lindsey,R.Dahrendolf).
Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh didalam suatu masyarakat, mendefinisikan fungsi setiap unsur dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat.
3. Teori Konflik (Karl Mark, Friedrich Engels).
Mengemukakan bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.
4. Teori Feminisme.
a. Feminis Liberal (Margaret Fuller, Harriet Martineau, Angelina Grimke, Susan Anthony).
Mengakui organ reproduksi merupakan konsekwensi, teori ini menekankan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi.
b. Feminis Marxis-Sosialis (Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg).
Berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan issue bahwa ketimpangan adalah faktor budaya alam.
c. Feminis Radikal.
Menggugat semua yang berbau patriarki, bahkan yang ekstrem berpendapat tidak membutuhkan laki-laki, dalam kepuasan seksual juga dapat diperoleh dari sesama perempuan, mentolerir praktek lesbian.
5. Teori Sosio-Biologis (Pierre Van Den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox).
Gabungan faktor biologis dan sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari pada perempuan. Fungsi reproduksi dianggap penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki.
Ketidakadilan Gender
Merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih.
Ketidakadilan gender dapat bersifat :
a. Langsung.
Perbedaan perlakuan secara terbuka, baik disebabkan perilaku atau sikap norma/nilai maupun aturan yang berlaku.
b.Tidak Langsung.
Seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu.
c. Sistemik.
Ketidakadilan yang berakar dalam sejarah atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.
Adapun bentuk diskriminasi gender :
a. Marginaslisasi (peminggiran), biasa dalam bidang ekonomi.
b. Subordinasi (penomorduaan), menganggap perempuan lemah.
c. Stereotype (citra buruk), serangan fisik dan psyikis.
d. Beban kerja berlebihan.
Prinsip-prinsip kesetaraan (dalam buku perempuan dalam pasungan) :
1. (Adam dan Hawa) sama-sama menjadi hamba dan khalifah dibumi, termaktub dalam Al-Quran surat Az-Zariyat (51) : 56, Al-Hujarat (49) : 13, An-Nahl(16) : 97, Al-An’am (7) : 165, Al-Baqarah (2) : 30.
2. (Adam dan Hawa) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis.
a. Keduanya diciptakan disurga dan memanfaatkan surga. (Al-Baqarah (2) : 35).
b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Al-A’raf (7) : 20).
c. Keduanya makan buah kuldi dan sama-sama menerima akibat jatuh dibumi (Al-A’raf (7) : 22).
d. Keduanya mohon ampun dan sama-sama diampuni (Al-A’raf (7) : 23).
3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial, berikrar akan keberadaan Tuhan (Al-A’raf (7) : 172).
4. Sama-sama berpotensi meraih prestasi, (Ali-Imran (3) : 195, An-Nissa (4) : 124, Al-An’am (6) : 97, Al-Mukmin (40) : 40).
KORBAN KDRT
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Akar kekerasan terhadap perempuan karena adanya budaya dominasi lakilaki
terhadap perempuan atau budaya patriarki. Dalam struktur dominasi laki-laki
ini kekerasan seringkali digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan
pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas dan kadangkala untuk
mendemontrasikan dominasi semata-mata.Kekerasan terhadap perempuan sering tidak dinggap sebagai masalahbesar atau masalah sosial karena hal itu merupakan urusan rumah tangga yangbersangkutan dan orang lain tidak perlu ikut campur tangan. Dalam kaitan itu sesuai dengan pendapat Susan L. Miler, yang mengatakan bahwa kejahatan dari kekerasan rumah tangga sudah merupakan suatu yang rahasia, dianggap sesuatu yang sifatnya pribadi dan bukan merupakan masal sosial (Susan L. Miler, 2000:289). Walaupun adanya pandangan seperti tersebut di atas tidak berarti menjadikan alasan untuk tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat dituntut kepada pelakunya, antara lain :
a).Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ;
c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ;
d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; dan
e).Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Dalam UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu :
a).Merumuskan kebijakan penghapusan KDRT ;
b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT ;
c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT ; dan
d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah membaca ulasan diatas, kita dapat mengetahui makna dari hakikat rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Kita dapat mengetahui definisi rumah tangga dalam berbagai perspektif, serta masalah-masalah apa saja yang ada dalam rumah tangga tersebut. Kita dapat sedikit menengok tentang masalah KDRT dan solusi-solusinya,dapat mengetahui KDRT dalam perspektif teori gender. Pengetahuan serta pemahaman kita tentang rumah tangga dan KDRT bertambah, tentu hal ini sangat bermanfaat bagi masa depan kita.
KRITIK DAN SARAN
“Tak ada gading yang tak retak”, itulah sekiranya ungkapan yang tepat untuk penulis,yang dalam kepenulisan makalah ini masih ada kurang sana-sini. Kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan dari para pembaca yang budiman, agar penulis bisa lebih baik ke depannya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Lawan, Robert M.Z, 1999. Materi Pengantar Sosiologi 1-9. Jakarta: Depdikbud
Mahmud Marzuki, Peter, Prof., Dr., SH.,MS.,LL.M. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id
Yunita, Ninit, 2005. Test Pack. Jakarta: Gagas Media
Soeroso,R, S.H.,2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Arivia, Gadis, 2003, Filsafat Bersfektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan,
Jakarta.
Marx, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Editor Adam Padgorecki,
Christoper J. Whelan, Bina Aksara, Jakarta.
Miler, Susan L., 2000, “Arres Policies for Domestic Violence and Their
Implication for Baterred” dalam It is a Crime, Women and Justice, Roslyn
Sukerti, Ni Nyoman, 2005, “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah
Tangga : Kajian Dari Perspektif Hukum Dan Gender (Studi Kasus Di KotaDenapasr)”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Purwandar, Kristi E., 2002, “Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologis Feminis”, dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Editor Archie
................., 2005, “Kekerasan DalamRumah Tangga”, www.terangdunia.com.
Brook, Gary B; O'Neil, J.M.,; Men in Families : Old Constraints, New Possibilities (hal 252-279); dalam Levant &Pollack (ed); A New Psychology of Man; Basic Books.
Myers; 1996; Social Psychology; The McGraw-Hill Companies, Inc
Faruk HT; 1997; Pendekar Wanita di Goa Hantu; dalam Abdullah, Irwan (ed); Sangkan Paran Gender; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mengenai Saya
- ririn cantig
- sekarang aku adl mahasiswi smstr 5 yg mnjalani hari2ku d kota yg cukup asing (terdampar d makassar) d blog ni, aku hanya ingin share tugas kul aja.... semoga bermanfaat :)
Selasa, 29 Maret 2011
TUGAS 2
MATA KULIAH : PENGANTAR ILMU HUKUM
DOSEN : HERMAN, S.H, M.HUM
NAMA : RIRIN RASPUTIN
NIM : 096 234 118
PRODI : PEND. ADM. PERKANTORAN
DEFINISI HUKUM
Aliran Sosiologis
Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).
Bellefroid: Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu).
Aliran Realis
Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.
Aliran Antropologi
Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).
Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).
Bohannan: Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum).
Aliran Historis
Karl von Savigny: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
Aliran Hukum Alam
Aristoteles: Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
Thomas Aquinas: Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.
Jhon Locke: Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.
Emmanuel Kant: Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.
Aliran Positivis
Jhon Austin: Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.
Blackstone: Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.
Hans Kelsen: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia… Hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Prof. Mr. L. J. Van Apeldoorn : Het recht zo zien als ordering der menselijke levensverhoudingen ( Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan- peraturan, tata aturan , baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan hubungan antara para anggota masyarakat.
Hukum : suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.
TUJUAN HUKUM
Tujuan hukum adalah memberikan peraturan- peraturan (petunjuk, pedoman ) dalam pergaulan hidup , untuk melindungi individi dalam hubungannya dengan masyarakat sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujud suatu keadaan aman , tertib dan adil.
KETERKAITAN HUKUM DENGAN MASYARAKAT
Aristoteles =“manusia sebagai mahluk social (zoonpolicon).”
P.J. Bouman = “ manusia baru menjadi manusia apabila hidup dengan manusia lainnya .”
Cicero =“ Ubi societas ibi ius .” = dimana ada masyarakat disitu ada hukum .”
Aturan – aturan atau hukum itu dibuat guna mengatasi pertentangan kebutuhan dasar dan masyarakat yang tidak mau mengindahkan aturan- aturan tersebut berarti tidak memperhatikan hak dan kewajiban yang ada pada masyarakat tersebut. Dengan demikian, bahwa hukumdapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari bayi sampai meninggal.
contoh bentuk keterkaitan hukum dengan masyarakat ;
keteraturan di rambu lalu lintas misalnya; apabila tidak ada lampu lalu lintas, maka dapat dipastikan akan terjadi banyak kecelakaan karena tidak ada sistem yang mengatur pergerakan pengguna lalu lintas di jalan raya.
Disinilah kita dapat melihat bahwa hukum itu mengatur masyarakat dalam segala bentuk kehidupan agar terciptanya keteraturan hidup.
MATA KULIAH : PENGANTAR ILMU HUKUM
DOSEN : HERMAN, S.H, M.HUM
NAMA : RIRIN RASPUTIN
NIM : 096 234 118
PRODI : PEND. ADM. PERKANTORAN
DEFINISI HUKUM
Aliran Sosiologis
Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).
Bellefroid: Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu).
Aliran Realis
Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.
Aliran Antropologi
Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).
Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).
Bohannan: Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum).
Aliran Historis
Karl von Savigny: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
Aliran Hukum Alam
Aristoteles: Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
Thomas Aquinas: Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.
Jhon Locke: Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.
Emmanuel Kant: Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.
Aliran Positivis
Jhon Austin: Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.
Blackstone: Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.
Hans Kelsen: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia… Hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Prof. Mr. L. J. Van Apeldoorn : Het recht zo zien als ordering der menselijke levensverhoudingen ( Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan- peraturan, tata aturan , baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan hubungan antara para anggota masyarakat.
Hukum : suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.
TUJUAN HUKUM
Tujuan hukum adalah memberikan peraturan- peraturan (petunjuk, pedoman ) dalam pergaulan hidup , untuk melindungi individi dalam hubungannya dengan masyarakat sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujud suatu keadaan aman , tertib dan adil.
KETERKAITAN HUKUM DENGAN MASYARAKAT
Aristoteles =“manusia sebagai mahluk social (zoonpolicon).”
P.J. Bouman = “ manusia baru menjadi manusia apabila hidup dengan manusia lainnya .”
Cicero =“ Ubi societas ibi ius .” = dimana ada masyarakat disitu ada hukum .”
Aturan – aturan atau hukum itu dibuat guna mengatasi pertentangan kebutuhan dasar dan masyarakat yang tidak mau mengindahkan aturan- aturan tersebut berarti tidak memperhatikan hak dan kewajiban yang ada pada masyarakat tersebut. Dengan demikian, bahwa hukumdapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari bayi sampai meninggal.
contoh bentuk keterkaitan hukum dengan masyarakat ;
keteraturan di rambu lalu lintas misalnya; apabila tidak ada lampu lalu lintas, maka dapat dipastikan akan terjadi banyak kecelakaan karena tidak ada sistem yang mengatur pergerakan pengguna lalu lintas di jalan raya.
Disinilah kita dapat melihat bahwa hukum itu mengatur masyarakat dalam segala bentuk kehidupan agar terciptanya keteraturan hidup.
Langganan:
Postingan (Atom)